Powered By Blogger

Selasa, 23 Februari 2010

Sampah Masyarakat


Sampah Masyarakat.

Hurok-hurok, itulah ocehan pengangguran di sekitar tempat tinggalku. Dapat dibilang sampah masyarakat, atau tunakarya untuk menghaluskan makna. Tua, muda yang tidak mempunyai pekerjaan yang tetap adalah penyebab maraknya perjudian di sekitar tempat tinggalku. Aku merasa prihatin terhadap masalah tersebut. Sewaktu kecil, mereka kurang mendapat perhatian dari orang tua mereka. Lalu, mereka melampiaskan tingkah lalu dalam suatu kerumunan yang tidak terkendali. Mereka adalah Ndaru, Koteng, Keprek, Sutri, Bagong, Nanap, Konyil, Genjik, Ndolom, Antok, Kodok, Kampret, dan Diko. Mereka ada yang masih bujang dan sudah berkeluarga, tetapi tidak dapat mengurus keluarga dengan baik, dan tak dapat mencukupi kebutuhan keluarga dengan sepantasnya. Yang masih bujang tidak memikirkan harapan, keinginan, dan cita-cita untuk masa depan (ora duwe ngen-ngen). Sungguh tragis hidup segan, mati tak mau. Mereka tidak mau mendalami hidup lebih dalam. Padahal kunci hidup adalah “Kita harus menabur benih di ladang, merawat dan memelihara tanaman itu, dan di suatu saat kita menuai hasil panen dari tanaman tersebut”. Itulah rahasia hidup sesungguhnya yang harus menjadi peganggan orang hidup karena hidup adalah sebuah perjuangan.

Setiap hari, segala kegiatan dijadikan permainan judi yang kecil-kecilan. Main pingpong, main kelereng, hingga lomba lari harus dinilai dengan perjudian. Sunggung bobrok mental mereka. Apa kata dunia melihat generasi muda bangsa yang bermental bejat. Negeri yang kaya raya, tetapi rakyatnya seperti monyet. Lebih baik monyet, karena monyet masih dapat memikirkan sesuatu yang mereka makan hari esok serta memberi makan anaknya, tetapi manusia itu hanya memikirkan sekarang tanpa menghiraukan keluarga. Sikap hedodisme, materalisme dan nafsu telah mendarahdaging di dalam kehidupan mereka. Lonte dan itil adalah pemuas hawa nafsu yang sesaat. Gaple, Qyu-Qyu, sanggong, remi, cliwik, dan totohan adalah pekerjaan yang tak dapat ditinggalkan. Topi miring, lapen, dan vocka adalah minuman setiap minggu sekali. Sungguh tragis masa depan mereka. Dari pagi hingga sore hari, mereka duduk-duduk santai diatas benteng, dengan menyebulkan asap rokok seperti mobil tua yang mogok dan macet, yang tak pernah diganti oli dan diservis. Tawa, ke sana ke sini adlah suatu aktivitas yang tak terlupakan. Baju compang-camping, jarang dicuci dan jarang diseterika adalah baju daerah yang merupakan simbol dari kekompakan. Semoga aku menjadi pemerkasa permasalahan sosial dalam kehidupan sampah masyarakat. (Jonathan Reza. P)

2 komentar: