Powered By Blogger

Rabu, 31 Agustus 2011

Industri Batu Bata Dagen, Pendowoharjo, Sewon, Bantul


Identifikasi Kegiatan Perdagangan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Lokasi Perdagangan :Dagen, Pendowo Harjo, Sewon, Bantul
Skala usaha : Menengah
Status/tempat perdagangan :Warung, Gubuk, dan Rumah
Jenis barang dagangan : Batu-Bata, Kayu Glugu, Kapur
Asal barang dagangan : Batu bata merupakan hasil industri milik sendiri dengan melakukan proses industri mengubah tanah liat menjadi batu-bata.
Kayu glugu merupakan hasil pembelian pohon kelapa, kemudian dipotong dan dirapikan dengan mesin serkel.
Kapur merupakan hasil industri dari pengolahan batu gamping dari Bedoyo, Gunung Kidul dikemudian diolah melalui pembakaran bersamaan dengan pembakaran batu-bata.
Waktu pelayanan : Senin sampai Sabtu dari pukul 8.00 WIB sampai 16.00 WIB
Konsumen : Masyarakat yang membutuhkan bahan bangunan pembuatan rumah, gedung, toko, dan ruko yang didominasi oleh keluarga muda, pengusaha properti, wiraswasta, dan instansi.

Pedagangan Bahan Bangunan (Batu Bata, Kayu Glugu, dan Kapur)


Perdagangan bahan bangunan berupa batu-bata, kayu glugu, dan kapur merupakan jenis perdagangan skala menengah dengan jumlah tenaga kerja 5 orang. Perdagangan bahan bangunan yang berkembang untuk memenuhi kebutuhan material bangunan rumah, properti, gedung, dan perkantoran. Salah-satu usaha perdagangan bahan bangunan (batu-bata, kayu glugu, dan kapur) terletak di Dusun Dagen, Pendowoharjo, Sewon, Bantul di prakarsai oleh Bapak Supriyadi (55 tahun). Beliau telah mendirikan usaha perdagangan bahan bangunan sejak 1990 sekitar 20 tahun yang lalu. Tempat perdagangan sekaligus industri berlokasi di rumahnya dengan mendirikan gubuk dan tenda untuk penyimpanan barang-barang produksi yang diperdagangkan. Waktu pelayanan dari hari Senin sampai Sabtu pukul 08.00 WIB sampai 16.00 WIB. Konsumen merupakan masyarakat yang membutuhkan bahan bangunan pembuatan rumah, gedung, toko, dan ruko yang didominasi oleh keluarga muda, pengusaha properti, wiraswasta, dan instansi. Usaha bahan bangunan yang dirintis oleh Bapak Supriyadi melayani pengantaran bahan bangunan kepada konsumen dengan memperhatikan biaya ongkos pengiriman barang sesuai dengan jumlah bahan bangunan yang dibeli oleh konsumen.

Awalnya usaha perdagangan bahan bangunan tersebut melayani perdagangan batu-bata melalui industri batu-bata yang ditangani bersama 2 orang tenaga kerja. Batu-bata yang diperjualkan merupakan hasil industri dengan mengubah bahan mentah berupa tanah liat menjadi batu-bata sebagai barang setengah jadi. Bahan baku batu-bata yang berasal dari tanah liat dibeli dari lahan-lahan petani yang memiliki lokasi yang tinggi dari area sekitar. Harga tanah liat semuatan bak truk seharga 50 ribu sampai 100 ribu rupiah tergantung dari kualitas tanah liat.
Proses pembuatan batu-bata sebagai berikut; Semua bahan-bahan berupa tanah dicampur dengan abu dan air menggunakan cangkul hingga menjadi adukan. Selanjutnya adukan itu dipadatkan ke dalam mesin penggiling. Lalu bahan yang sudah dipadatkan itu dicetak menggunakan cetakan berukuran 5 cm x 10 cm x 20 cm. Batu bata yang masih basah disusun memanjang dan melebar sesuai kapasitas tempat. Kemudian batu bata disusun dan siap dijemur hingga kering. Proses mengeringkan ini membutuhkan waktu 1 hari bila keadaan cuaca panas, tetapi jika hujan atau mendung bisa membutuhkan waktu hingga 5 hari. Pengeringan ini bertujuan agar daya ikatan bahan tanah kuat dan tidak mudah patah. Setelah kering, batu bata itu sudah bisa dibakar selama 3 hari 3 malam di sebuah ruangan yang sering disebut dengan oven batu bata. Ruang pembakaran ini biasanya menampung hingga 10.000 batu bata. Bahan bakar bisa menggunakan kayu bakar juga bisa menggunakan batu bara. Jika warna batu-bata menjadi kemerah-merahan, maka didinginkan dan diatur rapi untuk siap diperjual-belikan. Harga batu-bata tiap biji senilai 5 ratus rupiah.

Lambat laun mengalami peningkatan usaha dengan pemekaran hasil perdagangan dengan menyediakan kayu glugu dan semen kapur. Penambahan hasil perdagangan disebabkan tingginya permintaan konsumen terhadap bahan bangunan kayu glugu dan semen kapur. Kayu glugu digunakan dalam bangunan sebagai usuk dan rangkaian atap dalam pendirian bangunan. Kayu glugu diperoleh dari hasil pembelian pohoon kelapa diolah dengan proses pemotongan dan perapian dengan mesin serkel. Semen kapur diperoleh dengan proses pembakaran batu gamping bersamaan saat pembakaran batu-bata. Bahan baku semen kapur diperoleh dari tambang batu gamping di daerah Bedoyo, Gunung Kidul yang merupakan area Gunung Sewu. Semen kapur dipergunakan sebagai adonan bangunan yang dicampurkan dengan pasir, kerikil, dan semen batu.

Senin, 08 Agustus 2011

Pantai Ngrenehan dan Ngobaran




Pantai Ngrenehan dan Ngobaran
Gunung Kidul memiliki keindahan pantai yang menawan. Sepanjang pesisir pantai Gunung Kidul dari perbatasan Parangtritis ke arah timur sampai Pantai Sadeng merupakan pesisir bertebing terjal yang terbentuk akibat proses abrasi pantai oleh gelombang dan arus laut. Secara geomorfologis pesisir selatan Gunung Kidul merupakan pegunungan karst dengan material batu gamping terumbu yang mengalami pengangkatan dasar samudra. Pengangkatan tersebut berlangsung secara berkala sehingga membentuk bidang pelapisan pada struktur batuan. Fenomena tersebut dapat terlihat pada relief tebing pantai yang menghadap di laut. Terhat terdapat perlapisan batuan yang tergerus oleh gelombang dan arus laut sehingga membentuk runtuhan batuan di bibir pantai.


Terdapat pantai di pesisir Gunung Kidul yaitu Pantai Ngrenehan dan Pantai Ngobaran. Kedua pantai tersebut mempunyai letak yang berdekatan sekitar 1 km. Untuk mencapai kedua pantai tersebut melalui kota Yogyakarta menuju Jalan Wonosari menuju Pathuk dilanjutkan sampai melewati Bunder Rest dan hutan Wanagama. Selanjutnya sesampainya di simpang tiga menyerong ke selatan menuju arah Playen dan Paliyan sejauh 30 km. Pantai Ngobaran mempunyai topografi bertebing terjal dengan material karst berupa batuan gamping terumbu. Terdapat nuansa peradapan hindu di Pantai Ngobaran berupa pura. Penempatan pura tersebut seperti di Uluwatu dengan posisi pura di atas tebing bukit menghadap ke laut. Kondisi akomodasi dan penginapan di Pantai Ngobaran masih dalam persiapan sarana dan prasarana. Diharapkan bantuan modal infrastruktur dari pemerintah dapat menaikkan pamor Pantai Ngobaran sebagai alternatif wisata bahari di Gunung Kidul. Di hamparan pantai yang berongga-rongga oleh pengikisan batuan gamping terumpu di tumbuhi berbagai macam rumput laut dan didiami satwa perairan berupa ubur-ubur, lancak laut, dan ikan air asin. Warga memanfaatkannya untuk memeliharan udang lobster dengan keramba bamboo untuk menambah penghasilan sebagai nelayan.



Pantai Ngrenehan terletak disebelah timur Pantai Ngobaran sekitar 1 km. Pantai Ngrenehan memiliki bentuk pantai berupa teluk menjorok ke dalam dengan gelombang arus pantai yang tenang. Hal ini disebabkan oleh tertepisnya gelombang dan arus laut oleh karang-karang batuan menuju badan Pantai Ngrenehan. Situasi tersebut menyebabkan arus pantai yang tenang sehingga memikat wisatawan untuk berenang di badan pantai untuk menikmati keindahan Pantai Ngrenehan. Panorama perairan, batuan, matahari, awan, perahu dan tebing-tebing batuan menjadi nilai sumberdaya lingkungan yang tersajikan di Pantai Ngrenehan.

Pantai Ngrenehan didominasi dengan mata pencaharian penduduk sebagai nelayan dan berdagang hasil perikanan. Pangkalan penjualan ikan masih kumuh sehingga menimbulkan kesan kurang hieginis. Sementara sarana dan prasarana berupa akomodasi dan penginapan untuk wisatawan belum mencukupi, jikalau sarana mandi, cuci dan kakus sudah terpenuhi. Kondisi perairan pantai yang tenang sehingga memudahkan perahu-perayu nelayan untuk bersandar di tepian pantai. Puluhan perahu nelayan yang bersandar dengan jaring penangkap dan mesin motor pengerak. Perahu nelayan tersebut cukup mahal karena terbuat dari bahan fiber dengan sistem keseimbangan. Selain mengandalkan hidup sebagai nelayan dan penjual ikan, warga juga beternak domba dan sapi dengan pemberian makanan dari semak-semak ilalang dan palawija di lahan pertanian sebelum memasuki daerah pesisir.
Menurut penuturan warga, sekitar tahun 1997 akan diadakan investasi penginapan dan resort oleh orang asing. Berbagai fasilitas sudah dibangun berupa gapura, gazebo, dan ornamen patung dari pahatan batu. Krisis moneter di Indonesia pada tahun 1998, menyebabkan proyek tersebut terhenti dan tidak terealisasi. Tinggal sisa-sisa peninggalan yang tersisa yang lapuk oleh hujan dan panas terik matahari. Jikalau proyek tersebut terlaksana maka akan berdampak bagi masyarakat mengenai pembelian kepemilikan lahan di sekitar pantai dan peralihan mata pencaharian warga sebagai nelayan. Pembangunan yang berkelanjutan yang beraspek pada ekosistem dan kelembagaan dengan berbasis pada masyarakat oleh bantuan pemerintah dengan bantuan LSM diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan pembangunan infrastruktur di kawasan pesisir pantai.


Senin, 07 Maret 2011

Permasalahan dan Penyelasaian Sumberdaya Lahan dan Air di DAS Puti



Permasalahan dan Penyelasaian Sumberdaya Lahan dan Air di DAS Putih
Disusun Oleh :
Jonathan Reza Pahlawan (272852/GE/6546)

1. Deskripsi Wilayah
Sub-DAS Putih merupakan daerah aliran sungai yang berhulu dari Gunung Merapi. Sub-DAS Putih menyuplai aliran sungai melalui outlet tunggal menuju sistem DAS Progo. Sub-DAS Putih terletak pada zona fisiografi kepundan sampai dataran kaki Gunungapi Merapi dengan koordinat lokasi 418224 mU hingga 438784 mU dan 9155801 mT hingga 9166593 mT. DAS Putih memiliki karakteristik aliran sungai paralel yang merupakan bagian dari pola radial sentripetal. Sub-DAS Putih memiliki memiliki karakter lahan bertopografi hampir datar dengan kemiringan 0-3%, topografi landai dengan kemiringan 3-8%, miring dengan kemiringan 8-15%, dan terjal dengan kemiringan 15-30 %, dan sangat terjal dengan kemiringan 30-45%. Sub-DAS Putih mempunyai luas area sebesar 24942972,70 m2, dengan batasan admistratif meliputi 15 desa dalam 7 kecamatan meliputi Kecamatan Sawangan, Kecamatan Dukun, Kecamatan Srumbung, Kecamatan Turi, Kecamatan Tempel, Kecamatan Salam dan Kecamatan Muntilan.

Sub-DAS Putih terbagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu dicirikan oleh kondisi sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, daerah dengan kemiringan lereng yang besar (lebih dari 15 %), daerah tangkapan hujan, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan jenis vegetasi berupa tegakan hutan, semak belukar, dan kebun. Daerah hilir dicirikan oleh kondisi sebagai berikut : merupakan daeah pemanfaatan, kerapatan drainase kecil (kurang dari 8%), daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominansi oleh tanaman pertanian dengan penggunaan lahan berupa sawah irigasi. Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir. Bagian tengah didominasi penggunaan lahan berupa kebun, tegalan, sawah irigasi, dan permukiman. (Asdak, Chay, 2007)





2. Permasalahan Sumberdaya Lahan dan Air Sub-DAS Putih
Daerah hulu merupakan bagian yang mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Bagian hulu Sub-DAS Putih sebagai area pengaturan tata air dengan karakteristik lereng yang curam dan vegetasi berupa berupa tegakan hutan, semak belukar, dan kebun. Daerah hulu terjadi aktivitas perubahan lanskap termasuk perubahan tataguna lahan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilkasanakan di daerah hulu. Dampak yang berlangsung di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transpor sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air. Sebagai contoh, erosi yang terjadi di daerah hulu akibat praktek bercocok tanam yang tidak mengikuti kaida-kaidah dalam konservasi tanah dan air. Berdasarkan interpretasi data spasial penggunaan lahan di daerah hulu Sub-DAS Putih didominasi oleh penggunaan lahan berupa tanah berbatu, hutan, kebun, dan tegalan. Aktivitas penggunaan lahan terjadi dibagian bawah daerah hulu dengan pemanfaatan lahan berupa perkebunan dan pertanian palawija dengan memanfaatkan lahan tegalan. Kegiatan tataguna lahan yang bersifat mengubah bentanglahan dalam Sub-DAS Putih dapat mempengaruhi hasil air dan kondisi kualitas air.
Aktivitas pembalakan hutan (logging) atau deforestasi (pengurangan areal tegakan hutan) yang dilakukan di hulu Sub-DAS Putih memberi dampak meningkatnya erosi karena terjadinya pembukaan permukaan tanah oleh aktivitas pembukaan jalan angkutan. Cara bercocok tanam yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi di daerah hulu akan meningkatkan erosi yang berdampak menurunnya produktivitas lahan. Aktivitas pembukaan jalan hutan dilakukan tanpa mengenali tempat-tempat yang rentan terjadinya erosi dan tanah longsor seringkali menjadi sumber utama transport sedimen dari kegiatan pembalakan hutan. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah hulu akan memberikan dampak terhadap Sub-DAS Putih bagian tengahdalam bentuk penurunan kapasitas simpanan air serta menurunnya kualitas dan kuantitas air irigasi.
Kerusakan sumberdaya lahan yang terjadi akibat letusan Gunung Merapi berupa erupsi abu dan pasir dan awan panas yang menutupi sebagian besar daerah hulu Sub-DAS Putih. Pengaruh letusan Gunung Merapi berdampak pada penurunan kelas kemampuan lahan dari lahan kelas VI dan lahan kelas VII menjadi lahan kelas VIII. Penurunan kemampuan lahan tersebut akibat penurunan produktivitas lahan perkebunan di daerah bawah hulu Sub-DAS Putih. Berdasarkan peruntukan lahan berdasarkan kemampuan lahan daerah luhu Sub-DAS Putih didominasi untuk zonasi lindung. Zonasi lindung merupakan kawasan yang harus dilindungi serta tidak boleh dimanfaatkan untuk budidaya bersifat produktif karena kawasan tersebut merupakan daeah yang dipengaruhi oleh aliran piroklastik lahar dan awan panas. Oleh karena itu, area kawasan lindung didominasi oleh penggunaan lahan berupa tanah berbatu, semak belukar, dan hutan yang berada dibagian atas daeah hulu Sub-DAS Putih. Area penggunaan lahan untuk perkebunan dan tegalan mengalami penurunan produktivitas lahan akibat pengaruh erupsi abu dan pasir serta awan panas dari letusan Gunung Merapi. Ancaman awan panas dari erupsi material Gunung Merapi beradius kurang lebih 9 km dari puncak kepundan Gunung Merapi. Abu volkanik yang menutupi bersifat seperti semen dan keras, sehingga mengganggu kondisi tanahn untuk lahan perkebunan. Secara admistratif di daerah hulu Sub-DAS Putih meliputi cakupan Kecamatan Dukun yang meliputi Desa Ngablak dan Desa Kemiren. Menurut Asdak Chay (2007) adanya ketidaksesuaian antara batas alamiah (ekologi) dan batas administratif suatu DAS seringkali menjadi kendala untuk tercapainya pengelolaan DAS yang cukup mendesak dan mengusahakan tercapainya keselarasan persepsi antara batasan alamiah dan batasan adminstratif.
Daerah hilir Sub-DAS Putih mempunyai keterkaitan biofisik dengan daerah hulu Sub-DAS Putih dalam konteks pemanfaatan dan konservasi alam. Aktivitas pengelolaan Sub-DAS Putih bagian hulu mendorong terjadinya erosi sehingga menimbulkan dampak di daeah hilir dalam bentuk pendangkalan sungai dan saluran irigasi karena pengendapan sedimen yang berasal dari proses erosi di daerah hulu. Besarnya proses sedimentasi yang terjadi pada saluran-saluran irigasi mengurangi kapsitas tampung pada saluran-saluran sehingga mengurangi luas sawah yang berasal dari saluran irigasi. Pola aliran sungai sejajar pararel di bagian tengah Sub-DAS Putih menuju satu cabang aliran sungai di bagian hilir menjadi outlet tunggal menuju sistem DAS Progo.
Berdasarkan identifikasi penggunaan lahan dari data spasial penggunaan lahan peta satuan lahan Sub-DAS Putih teridenfikasi bahwa daearah tengah dan hilir Sub-DAS Putih didominasi oleh penggunaan lahan berupa sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan permukiman. Perkembangan permukiman seiring dengan pemanfaatan penggunaan lahan untuk sawah irigasi dan tadah hujan. Sawah irigasi mendapatkan pasokan air yang berasal aliran sungai di daerah hulu dan sistem mata air yang muncul pada bagian tekuk lereng yang menjadi batas daerah hulu dengan daerah tengah Sub-DAS Putih.
Berdasarkan analisis kemampuan lahan di bagian tengah dan hilir Sub-DAS Putih termasuk dalam kelas kemampuan lahan kelas I dan kelas II. Lahan kelas I dan kelas II cocok untuk usahatani yang intensif dengan pasokan air yang memadai untuk usaha pertanian. Lahan tersebut membutuhkan tingkat pengelolaan untuk memperbaiki hubungan air dengan udara. Pemanfaatan irigasi pertanian di daerah tengah Sub-DAS Putih secara intensif menjadikan persedian air permukaan sungai menjadi berkurang sehingga berdampak kekurangan pasokan irigasi di bagian hilir. Hal ini ditandai dengan adanya pemanfaatan air hujan sebagai pasokan pengairan di sawah tadah hujan di bagian hilir Sub-DAS Putih. Berdasarkan kondisi karakteristik aliran sungai mengalami pengecilan penampang sungai akibat pemanfaatan pasokan air irigasi secara berlebihan di bagian tengah Sub-DAS Putih. Pemanfaatan air irigasi pertanian di bagian tengah Sub-DAS Putih harus dikendalikan dan diatur sesuai kaidah konservasi lahan dan air supaya dampak kekurangan pasokan air pertanian untuk lahan pertanian sawah tadah hujan di hilir Sub-DAS Putih dapat terkendalikan dan efektifitas penggunaan sumberdaya air terhadap sumberdaya lahan dapat terwujud sesuai dengan kaidah konservasi lahan dan air.

3. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Sub-DAS Putih
Pengelolaan Sub-DAS Putih meliputi konservasi tanah dan air merupakan sarana untuk tercapainya pembangunan sumberdaya air dan tanah yang berkelanjutan (Arsyad, 1989). Masalah utama dalam pengelolaan Sub-DAS Putih adalah perlin-dungan sumberdaya lahan terhadap kerusakan. Pengelolaan Sub-DAS Putih diper-lukan karena adanya ancaman terhadap kelestarian sumberdaya lahan, oleh tindakan manusia yang kemudian oleh lingkungan alam sendiri. Pengelolaan Sub-DAS Putih lebih ditujukan pada bagian dari Sub-DAS Putih yang terancam oleh kerusakan erosi dengan dampaknya. Faktor utama penentu erosi adalah besarnya kemiringan lapangan, curah dan intensitas hujan, erodibilitas tanah, dan vegetasi (Arsyad, 1989).
Daerah hulu Sub-DAS Putih dengan topografi bergunung dan lereng yang curam sangat peka terhadap bahaya erosi. Di daerah hulu Sub-DAS Putih mempunyai masalah utama terhadap perlindungan. Dalam hubungan ini, maka Sub-DAS Putih dapat dibagi menjadi tiga zona/wilayah menurut besarnya kelerengan, yaitu wilayah hulu sungai (lereng 40 %, wilayah tengah dan hilir (lereng <8 %). Dengan demikian maka sasaran pengelolaan Sub-DAS Putih untuk tujuan konservasi adalah bagian hulu sungai dan bagian tengah dengan lereng lebih dari 8 % . Peranan hutan lindung sangat mutlak di daerah yang kemiringannya lebih dari 40 % dan erodibilitas tanah-nya sangat tinggi.
Pengelolaan vegetasi di daerah hulu dapat menurunkan aliran sedimen yang masuk ke saluran sungai yang berda di daerah tengah dan hilir. Pengelolaan vegetasi terutama dalam pemilihan jenis vegetasi untuk meningkatkan hasil air dan menurunkan hasil air yang berkurang oleh adanya proses evapotranspirasi vegetasi. Program reboisasi dan penghijauan di di hulu Sub-DAS Putih memberikan dampak positif berkurangnya sedimentasi dan pasokan air yang lebih stabil di darah tengah dan hilir Sub-DAS Putih. Pengelolaan vegetasi khususnya vegetasi hutan dapat mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air. Vegetasi hutan dapat dipandang sebagai pengatur aliran air (steamflow regulator), yang berarti hutan dapat menyimpan air pada musim hujan dan melepaskan air pada musim kemarau. Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah melindungi tanah dari tumbukan air hujan, menurunkan kecepatan dan volume air larian, menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan seresah yang dihasilkan, serta mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air.
Terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi permukiman di daerah tengah dan hilir Sub-DAS Putih menjadikan ketidaksesuaian pemanfaatan kemampuan lahan kelas I dan lahan kelas II yang diperuntukan untuk pertanian, digunakan untuk permukiman. Perkembangan permukiman oleh aktivitas penduduk merupakan dampak dari perkembangan pemanfaatan lahan untuk pertanian oleh penduduk. Pengelolaan perkembangan permukiman harus diatur dalam tata undang-undang izin pendirian bangunan permukiman. Perkembangan permukiman dengan pemanfatan lahan pertanian irigasi membutuhkan kebutuhan air domestik semakin meningkat sehingga semakin meningkat penggunaan air untuk kebutuhan domestik, irigasi pertanian, dan peternakan. Perlunya pengelolaaan sumberdaya air secra efektif dan efisien supaya terjadi keseimbangan antara penyedian air dari air tanah, air permukaan irigasi dan air hujan, terhadap pemanfaatan air untuk kebutuhan domestik, irigasi pertanian, dan peternakan.
Berbagai macam metode dan teknik konservasi tanah dan air dalam penera¬pannya perlu disesuaikan dengan keadaan aktual sesuai karakteristik Sub-DAS Putih. Pengelolaan air meliputi per¬lindungan, pengembangan dan penggunaan air untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia, dengan tujuan terwujudnya kondisi hidrolo-gis Sub-DAS Putih yang optimal. Kondisi hidrologis air yang sesuai dengan kebutuhan dan persyaratan yaitu: jumlah cukup, kualitas air yang memenuhi persyaratan, tersedia menurut waktu dan tempat.
Menurut Soemarno (2006), dalam rangka pengelolaan air melalui upaya pokok pengembangan sumberdaya air, maka beberapa kegiatan penting sebagai berikut : pengamanan dan pengendalian daya rusak air terhadap sumberdaya di sekitarnya ; pencegahan terjadinya dan pemulihan lahan kritis ; pencegahan terhadap terjadinya pencemaran air; pengamanan dan perlindungan bangunan pengairan, dan pemanfaatkan dan pengembangkan sumberdaya air. Masalah utama dalam pengelolaan sumberdaya air adalah mengusahakan keserasian antara pengembangan sumberdaya air di daerah hilir dengan usaha-usaha menjaga kelestarian tanah dan air serta sumberdaya air di daerah hulu sungai.

Daftar Pustaka :
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : Penerbit IPB
Asdak, Chay. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Sumberdaya Air. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Soemarno. 2006. Penggunaan Lahan dan Dinamika Permasalahannya. Surabaya : PSDA LH Jawa Timur