Powered By Blogger

Selasa, 23 Februari 2010

Petani di Pinggiran Desa


Petani di Pinggiran Desa

Mungkin di zaman modern ini, kita jarang menemukan seorang pemuda yang berprofesi sebagai petani. Sebagian besar di antara mereka memilih sebagai pekerja pabrik, pelayan took, dan berprofesi sebagai tukang. Terdengar kata “Tidak” dari seorang pemuda yang berumur 30 tahun yang tinggal di pinggiran desaku bernama Maryanta. Jiwa dan semangat Marhenisme sejak di jaman Soekarno terus bergelora di hatinya untuk bangkit dan semangat dalam menjalanani hidup. Mungkin pekerjaan sebagai petani telah ditinggalkan oleh pemuda generasi kita, tetapi tidak untuk Saudara Maryanta. Dia tetap memilih berprofesi sebagai petani yang kreatif dalam mengelola hasil tanaman padi, palawija, dan sayuran Aku sangat menghargai perjuangannya dalam menghidupi anak dan istri. Aku sangat tertarik terhadap perjungannya. Aku ingin mengenalnya lebih dekat. Aku juga ingin mengulangi sejarah Bung Karno bertemu dengan seorang petani yang bernama Marhain. Sekarang sejarah itu akan terulang kembali, Soekarno kecil yang bernama Jonathan RP bertemu dengan seorang petani di pinggiran desa yang bernama Maryanta. Beginilah ceritanya……..

Sebelum matahari terbenam di barat, kira-kira pukul empat sore, aku mempunyai niat untuk berbagi waktu dengan alam di hambaran sawah sebelah selatan desaku yang bernama “Mbulak”. Sore itu, aku mengendarai sepeda polygon menuju mbulak. Aku berhenti di sana di tepat yang bernama ngebak. Ngebak adalah suatu sumber mata air yang dibangun oleh pemerintahan kolonial belanda ntuk mandi para prajurit sewaktu perang. Bangunan tersebut berukuran 3x7 meter yang terbuat dari semen merah dan hampir rapuh oleh terpaan hujan dan panas. Aku melihat situasi di sekitar ngebak. Terdapat Pak Tani yang memakai baju merah keruh sedang membajak sawah dengan traktor. Idam, Aldi, dan Dandi sedang mencari orong-orong dan belut di tanah bajakan. Tak terasa lama mereka berkumpul berbagai canda dan tawa di sebuah pinggiran sungai yang bernama tempuran. Di samping itu, Pak Giyo dan Pak Joko melepas lelah setelah bekeradi sawah. Aku mendekati mereka satu per satu untuk berbagai pengalaman dan mendengarkan keluh kesah mereka. Tak ketinggalan aku memotret mereka dan bersendau gurau bersama mereka. Setelah itu, aku menemui anak-anak yang sedang bermain bersama burung bangau yang diikat kakinya di sebuah pohon. Burung itu mempunyai paruh yang lancip dan panjang dan kaki yang beruas dan panjang. Burung bangau tersebut mencoba menarik perhatian kami dengan menari-mari di lahan lumpur yang becek. Petani yang melakukan bajak tersebut menawarkan uang senilai dua puluh ribu untuk menghargai burung bangau yang nakal dan lucu. Pak Tani tersebut mengatakan bahwa uang tersebut akan digunakan untuk membeli tiga bungkus rokok. Aku pun melanjutkan perjalanan untuk pulang ke rumah.

Di perjalananku pulang ke rumah, terdengar suara yang memanggil namaku. Aku pernah mendengar suara tersebut sebelumnya. Ternyata Mas Maryanta adalah seorang marhanisme di pinggiran desaku yang memanggilku. Aku pun mendekatinya dan berbicara dengan dia. Kami membicarakan terntang filsafat, makna hidup, dan cerita tentang petani yang bernama marhein. Aku salut terhadap dia karena dia adlah orang yang mempunyai tipe pekerja keras dan patang menyerang. Semangat itulah yang memberi inspirasi kepada aku untuk menuliskan sebuah goresan pena mengenai petani di pinggir desa. Aku berbicara dengan dia yang sedang mengarit rumput-rumput ilalang. Rumput ilalang itu digunakan untuk memberi makan kepada tabungan hidup para petani yaitu sapi. Dia mengatakan bahwa sebagai seorang petani harus menabung untuk di kemudian hari. Satu jam waktu kami berbincang-bincang dengan menghasilkan seribu goresan pena di kertas ini. Aku menceritakan kepada dia tentang Marhain bahwa Soekarno terinspirasi oleh Marhain tentang perjungan seorang petani dalam menjalani hidup, walaupun dalam keaadaan hujan, Maehain tetap bekerja keras di sawah. Hal ini sekarang terjadi di hadapanku bahwa seorang petani di pinggir desaku bernama Maryanta sedang mengarit rumput ilalang untuk memberi makan sapi yang merupakan tabungan hidup di kemudian hari. Dia juga menceritakan kepadaku tetang sebuah filsafat hidup. Beginilah ceritanya...Di halaman Ibu Camara Dini ditanam dua pohon yang merupakan simbol filsafat hidup dari leluhur yaitu sebuah pohon jati dan sebuah pohon sawo kecik. Pohon jati yang menjulang tinggi, rimbum, dan kokoh, didampingi oleh sebuah pohon sawo kecik di sampingnya. Dia mengatakan bahwa kedua pohon itu memberi simbol filsafat hidup yaitu Sejatining Urip Tumindhak Ingkang Becik. Begitulah makna kepanjangan dari sebuah pohon jati dan sebuah pohon sawo kecik yang selalu berdampingan seperti sepasang suami istri. Aku baru tahu makna kedua pohon tersebut dari tutur kata petani di pinggir desaku yang bernama Maryanta. Aku merasa kecewa karena kedua pohon itu telah di tebang untuk mempertebal dompet kepunyaan pemilik tanah. Di dalam hati aku berpikir apakah pemilik tanah tidak mengetahui makna dari kedua pohon itu ? Sungguh ironis demi kepentingan harta semata, kedua pohon itu lenyap di muka bumi ini.

Sedang gurau kami pun dilanjutkan di perjalanan pulang. Setelah rumput ilalang terkumpul sekarung, kami berjalan menyusuri tegalan sawah menuju grojogan banyu. Dia membersihkan rumput ilalang sekarung itu dengan air sungai yang mengalir. Perjalanan kami puulang, aku membawakan cangkul kepunyaanya sampai di rumahnya. Di rumah petani di pinggir desaku sudah ditunggu oleh orang tuanya yang bernama Mbah Niti Karbi. Aku juga saluut terhadap Mbah Niti Karbi karena seorang yang berumur lebih dari 75 tahun masih ikut campur tangan dalam cocok tanam. Selain itu, dia juga kuat mencari jerami untuk memberi makan kepada tabungan hidup para petani yaitu sapi. Beginilah cerita perjalananku bersama petani di pinggir desa ”Maryanta”. Engkau memberi inspirasi kepadaku. Suatu saat kita akan bertemu kembali untuk membicarakan suatu hal yang menarik. Thank You,Terima Kasih, Matur Nuwun.

Jonathan Reza Pahlawan, 16 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar